Kesenian di Kota Bitung
Kota Bitung adalah
salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara dengan luas wilayah daratan 304 km2.
Sebagian besar wilayah daratan merupakan daerah berombak, berbukit dan gunung.
Secara Geografis Kota Bitung terletak pada posisi diantara 1o23'23"
- 1o35'39" LU dan 125o1'43" - 125o18'13"
BT. Kota ini memiliki perkembangan yang cepat karena terdapat pelabuhan
laut yang mendorong percepatan pembangunan.
Sebagian
besar penduduk Kota Bitung berasal dari suku Minahasa& suku
Sangihe. Terdapat juga komunitas etnis Tionghoa yang
besar di Bitung. Para pendatang yang berasal dari suku Jawa dan suku Gorontalo, Suku Minangkabau , Suku Aceh juga banyak ditemui di Bitung, dimana sebagian besar dari mereka
berprofesi sebagai pedagang. Bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat
Kota Bitung adalah bahasa
Manado sebagai bahasa ibu dari
sebagian besar penduduk Kota Bitung. Bahasa Sangihe juga sering digunakan
oleh penduduk Sangihe Talaud yang ada di kota Bitung.
Selain dalam bidang budaya, kesenian yang berkembang di kota Bitung juga dipengaruhi oleh etnis dan budaya yang ada. Seperti yang kita ketahui, bahwa kesenian merupakan bagian dari kebudayaan. Maka dari itu, keduanya saling berhubungan.
Namun, selain dipengaruhi oleh budaya dan etnis yang ada,
lingkungan hidup dan tata letak kota juga memberikan pengaruh pada kesenian
daerah Bitung. Walaupun belum semua warga kota Bitung mengenal kesenian yang
baru tersebut,dan minimnya sosialisasi serta tanggapan masyarakat akan kesenian
daerah yang ada ini, tetapi tetap saja kesenian itu sudah ada dan harus
dikembangkan dan dilestarikan. Inilah yang menjadi kondisi seni dan budaya kota
Bitung sekarang ini.
Kesenian yang Ada di Kota Bitung
Karya seni ada 3, meliputi:
- Visual Art: seni yang dapat dinikmati
melalui indera penglihatan. Misalnya seni rupa.
- Audio Art: seni yang dapat dinikmati
melalui indera pendengaran. Misalnya seni suara (seni musik)
- Audio Visual Art: seni yang dapat dinikmati
melalui indera penglihatan dan indera pendengaran. Misalnya, seni drama dan
seni tari.
Berdasarkan pengertian kesenian dan juga karya seni yang
ada, maka melalui survey yang sudah kami lakukan, dibawah ini ada beberapa
kesenian yang ada dan masih sangat kuat keberadaannya dikalangan masyarakat
kota Bitung.
1. Upacara Adat Tulude
Upacara adat ''Tulude''
merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan
Sangihe, Talaud dan Sitaro) di ujung utara propinsi Sulawesi Utara. Telah
berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis
Sangihe dan Talaud sehingga tak mungkin dihilangkan atau dilupakan oleh
generasi manapun. Mengingat bahwa ada cukup besar warga atau etnis Sangihe
Talaud yang tinggal dikota Bitung, maka upacara adat inipun dilaksanakan dan
sudah menjadi budaya bagi masyarakat kota Bitung.
Tulude pada
hakekatnya adalah kegiatan upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata
Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkat-berkat-Nya kepada umat
manusia selama setahun yang lalu. Kata TULUDE berasal dari kata
"suhude" yang secara harafiah berarti tolak, atau mendorong,
hingga secara luas dapat diartikan bahwa orang sangihe menolak untuk terus
bergantung pada hal - hal di tahun yang lampau dan siap menyongsong kehidupan
yang baru di tahun yang baru. Selain itu juga upacara ini merupakan permohonan
kepada Tuhan untuk menolak segala bencana, agar semuanya itu dapat
dihindarkan.
Pada masa awal
beberapa abad lalu, pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para
leluhur pada setiap tanggal 31 Desember, di mana tanggal ini merupakan
penghujung dari tahun yang akan berakhir, sehingga sangat pas untuk
melaksanakan upacara Tulude. Ketika agama Kristen dan Islam masuk ke wilayah
Sangihe dan Talaud pada abad ke-19, upacara adat Tulude ini telah diisi dengan
muatan-muatan penginjilan dan tradisi kekafiran secara perlahan mulai terkikis.
Bahkan, hari pelaksanaannya yang biasanya pada tanggal 31 Desember, oleh
kesepakatan adat, dialihkan ke tanggal 31 Januari tahun berikutnya. Hal ini
dilakukan, karena tanggal 31 Desember merupakan saat yang paling sibuk bagi
umat Kristen di Sangihe dan Talaud. Sebab, seminggu sebelumnya telah disibukkan
dengan acara ibadah malam Natal, lalu tanggal 31 Desember disibukkan dengan
ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru. Akibat kepadatan dan
keseibukan acara ibadah ini dan untuk menjaga kekhusukan ibadah gerejawi tidak
terganggu dengan upacara adat Tulude, maka dialihkankan tanggal pelaksanaannya
menjadi tanggal 31 Januari. Bahkan pada tahun 1995, oleh DPRD dan pemerintah
kabupaten kepulauan Sangihe-Talaud, tanggal 31 Januari telah ditetapkan dengan
Perda sebagai hari jadi Sangihe Talaud dengan inti acara upacara Tulude. Begitulah
tuturan narasumber, Yekonia Nanangkong S.Pd yang merupakan salah satu orang
yang bisa memotong kue tamo yang adalah kue khusus pada Upacara Adat
Tulude. Beliau menjelaskan dengan cermat dan teliti setiap hal penting mengenai
upacara adat ini kepada kami.
Bila dilihat,
Tulude memang lebih cenderung ke kebudayaan. Tapi dalam tata cara pelaksaannya,
Tulude memuat unsur-unsur seni. Misalnya ada salah satu acara mengenai
pagelaran seni di upacara Tulude, dimana pada bagian tersebut akan
dipertontonkan tarian-tarian daerah khususnya daerah Nusa Utara. Seperti,
tarian gunde, salo, masamper, pertunjukan musik bambu dan lain-lain. Hal inilah
yang membuat kami ingin mengkaji tentang upacara adat Tulude karena di upacara
adat inilah, kita bisa menyaksikan pertunjukan seni (tari-tarian) khas Nusa
Utara.
2.
Masamper
Masih dari
narasumber yang sama, Bpk. Nanangkong memberikan informasi tentang salah satu
kesenian khas Nusa Utara yaitu Masamper yang sudah sangat dikenal oleh
masyarakat kota Bitung dan menjadi kesenian di kota ini. Masamper diambil dari
bahasa Portugis yaitu zyangfeer yang berarti kelompok penyanyi.
Kelompok
penyanyi ini terbentuk sejalan dengan kegiatan penyebaran injil oleh
agama Khatolik di Sangihe-Talaud. Setelah munculnya kebiasaan, kelompok
penyanyi ini juga dilakukan dalam ibadah-ibadah Protestan dan oleh orang
Belanda kelompok penyanyi ini disebut zangvere(e) Ninging atau zang
(de) verzameling dengan tujuan melatih dan mengajar jemaat memuji
Allah Sang Pencipta. Kegiatan berzangvere berjalan dengan baik sehingga
kebiasaan menyanyi ini menjadi bagian penting dalam setiap ibadah. Kata
masamper tercipta berawal dari sulitnya jemaat mengucapkan kata zyangfere
sehingga terucap samfer/sampri. Kata ini kemudian berkembang menjadi masamper
yang berarti menyanyi bersama-sama syair lagu-lagu yang diciptakan oleh
masyarakat Sangihe-Talaud banyak berorientasi pada budaya bahari, hal ini
karena penduduk Sangihe-Talaud terpisah-pisah oleh kepulauan. Kata-kata dalam
lagu-lagu Masamper diantaranya pato (perahu), laut, ombak, selat, burung camar
dan lain-lain sebagai simbol bahwa orang Sangihe Talaud adalah orang kepulauan,
menetap di tepipantai karena itu akrab dengan laut. Hal ini membuktikan
bahwa budaya bahari bukan saja hidup dan mengental dalam masyarakat tetapi
telah menjadi pandangan hidup masyarakat.
Seiring waktu
telah terjadi perkembangan dalam pada penyajian variasi serta lagu-lagu yang
dinyanyikan dan kostum yang digunakan. Masamper dilaksanakan dalam berbagai
even seperti, upacara adat, kedukaan, perkawinan atau acara-acara lainnya.
Lagu-lagu yang dinyanyikan lirik dan syairnya disesuaikan dengan suasana
acaranya.
Dalam pertunjukan
masamper yang ditonjolkan bukan hanya lagu-lagu yang dinyanyikan tetapi juga
keserasian gerak disertai ekspresi atau penjiwaan terhadap pesan dalam lagu
yang dibawakan. Biasanya para peserta masamper adalah orang-oarang yang
menguasai lagu-lagu, vokal yang prima atau bersuara merdu dengan variasi
suasa alto, sapran, mesosopran dll. Selain itu keserasian gerak,
kekompokan, vokal, dinamika lagu-lagu sehingga pertunjukkan masamper yang
dibawakan dalam bentuk nyanyian dan gerak menarik perhatian.
Masamper memiliki
fungsi menyampaikan nilai religius, nilai saling mengasihi dan saling
menghormati, menanamkan rasa cinta tanah air, menamamkan rasa
kejujuran, disiplin, mempererat rasa persatuan dan kesatuan serta menanamkan
rasa cinta lingkungan. Sebagai suatu seni pertunjukan yang dinamis dan
diwarnakan suasana kegembiraan, maka seni pertunjukkan msamper banyak diminati
oleh masyarakat, bukan saja masyarakat Sangihe Talaud tetapi juga oleh
masyarakat lainnya di Nusantara salah satunya dikota kami, kota Bitung.
3. Tari
Tangkap Cakalang
Tari Tangkap Cakalang atau dengan bahasa Indonesia adalah tari menangkap ikan cakalang/tuna/ tongkol, adalah Tarian Kreasi Baru yang di ciptakan oleh Bpk. Alan Ruknis pada tahun 2006. Tarian ini menceritakan tentang bagaimana kehidupan seorang/ sekelompok nelayan mencari ikan di laut, dan juga menceritakan kehidupan di bawah laut khususnya kehidupan ikan cakalang. Bagaimana mereka hidup, bermain di laut dan lain-lain. Tarian ini diciptakan karena terinspirasi oleh lokasi kota Bitung yang mana, Bitung merupakan kota Pelabuhan dan terletak dipesisir pantai. Sehingga sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan. Hal inilah yang mendorong pencetus tari Tangkap Cakalang ini. Begitulah paparan dari Rizal Aneta (19 tahun) yang merupakan salah satu penari dalam tarian tangkap cakalang ini.
Tarian ini
pertama kali ditampilkan secara umum dan mendapat
sorotan besar
pada event internasional Sail Bunaken di tahun 2009. Namun
sebelumnya, di tahun 2007 pada perlombaan yang diadakan oleh Dinas
Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara, tarian ini sudah diikutsertakan. Utusan
dari kota Bitung mendapat juara pertama atas tari cakalang yang merupakan tarian
kreasi baru ini. Dan selanjutnya, tarian ini pun mulai dipentaskan di
event-event dan perlombaan-perlombaan lainnya.
Penari terdiri
oleh putra dan putri dari kota Bitung secara berpasangan. Jumlah maksimal
penari mencapai 5 pasang putra-putri, dan jumlah minimalnya hanya 2 pasang
putra-putri. Putra berperan sebagai Nelayan dan putri sebagai Ikan
Cakalang.
3. Pertarungan Nelayan dan Para Ikan
Pada bagian ini,
para nelayan yang diperankan oleh putra akan bertarung untuk menangkap
ikan-ikan yang diperankan oleh para putri kota Bitung. Pada akhirnya, ikan-ikan
yang ada akan berhasil ditangkap oleh para nelayan dan inilah yang menjadi
bagian akhir dari tarian ini.
Tarian ini
memiliki durasi sekitar 5 – 7 menit. Kostum yang digunakan bagi putra dapat
dilihat pada gambar dibawah ini. Tetapi, belum ada kostum yang paten untuk
putra. Sedangkan untuk putri, kostum mereka dibuat menyerupai ikan. Kostum yang
ada biasanya dipinjam didinas pariwisata karena masih minimnya kostum dari
tarian ini.
Selain itu, alat
musik yang digunakan untuk mengiringi tari tangkap cakalang ini adalah tamborin
dan suling. Untuk pemain tamborin yang ada dikota Bitung masih bisa
bertambah karena mudah untuk diajarkan. Tetapi, bagi pemain suling, hanya ada
satu orang, yaitu Bpk. Yosep Untu. Beliau adalah salah satu tokoh yang sangat
mengenal kesenian baik yang ada dikota Bitung, maupun di Minahasa. Hanya beliau
saja yang bisa memainkan alat musik tersebut, karena tingkat kesulitannya cukup
tinggi dan sulit untuk diajarkan.
Tarian ini merupakan
tari kreasi baru dan belum lama dibuat, sehingga masyarakat masih belum terlalu
mengenal tarian ini. Bahkan hanya beberapa orang saja yang bisa memainkan
tarian ini dengan benar. Selain itu, pelatihnya pun masih sangat sedikit dan
jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jelas Rizal. Hal ini disebabkan karena
kurangnya sosialisasi tentang tarian daerah dan kurangnya kepedulian serta
antusiasme warga masyarakat kota Bitung terhadap kesenian ini.
4. Tari
Kopra
Tari Kopra juga
merupakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh Bpk. Alan Ruknis. Tarian ini
menjelaskan tentang petani yang sedang membuat kopra. Mengingat Sulawesi Utara
adalah daerah Nyiur Melambai yang banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa, maka
tidak heran jika banyak produksi kopra yang terdapat didaerah Sulawesi Utara,
khususnya kota Bitung. Hal inilah yang menjadi acuan terciptanya tarian ini.
Tarian ini hanya dimainkan oleh putri saja, dan biasanya semakin banyak penari
maka tariannya akan terlihat lebih baik. Namun, batas maksimal penari tidak
diketahui dengan jelas oleh narasumber karena dia bukanlah salah satu penari
tarian ini. Properti yang digunakan dalam tarian ini adalah “Tolu” yang adalah
topi yang berbentuk gunung yang biasanya dipakai oleh petani maupun nelayan
yang terbuat dari anyaman bambu. Alat musik pengiringnya sama seperti alat
musik yang mengiringi tarian tangkap cakalang yaitu tamborin dan suling. Tetapi
intrumen yang digunakan adalah instrument lagu daerah salah satunya adalah lagu
sayang-sayang sipatokaan. Berhubung narasumber bukanlah penari dari tarian ini,
maka informasi yang kami dapat tidaklah lengkap. Karena penari kopra ini masih
jarang, maka kamipun kesulitan untuk mendapatkan informasi secara lengkap
mengenai tarian ini.
5. Seni
Peran (Teater)
Bagi Bitung
teater adalah komunitas yang terorganisasi yang manajemennya terjaga secara
ajeg (sustainable). Anak-anak remaja dikota Bitung merupakan remaja yang
aktif. Mereka memiliki agenda bagi diri sendiri dalam membangun komitmen
dalam hidupnya. Dan itu mereka lakukan melalui komunitas teater. Hal ini juga
tidak terlepas dari kerja Leonardo Axel Galatang yang merupakan presiden teater
kota Bitung, sanggar Tangkasi. Teater adalah istilah lain dari drama atau seni
peran tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan
teks atau naskah (kalau ada), penafsiran, penggarapan, penyajian atau
pementasan dan proses pemahaman atau penikmat dari public atau audience. Hal
ini juga menjadi kesenian yang harus dikembangkan dan dilestarikan. Khususnya
dikota Bitung, komunitas teater memiliki banyak peminat dari kalangan remaja.
Bukan hanya sekedar menyukai, tetapi mereka juga mendalami dan mempelajari
dengan baik akan kesenian ini. Dan di kota Bitung, teater adalah seni
yang sangat dikenal dan juga dekat dengan masyarakat. Karena komunitas ini
sudah dibuat dan mulai diajarkan disekolah-sekolah mulai dari SMP sampe SMA.
Setiap tahunnya akan ada perlombaan teater antar sekolah. Disinilah kita bisa
menyaksikan bagaimana seni peran itu.
Sanggar teater
kota Bitung bernama Sanggar Tangkasi. Pemimpin atau Presiden dari sanggar ini
adalah Leonardo Axel Galatang. Sebelum kota Bitung lahir, Axel sudah lebih awal
menyiapkan pembangunan kebudayaannya melalui teater dan berbagai infrastruktur
kreatif lain, seperti: program pramuka, kegiatan siswa/mahasiswa teladan,
Putra-Putri Bitung, serta berbagai aktivitas kreatif sekolahan lain yang
bermuara pada pembinaan dan lomba-lombaan kesastraan dan kesenian lain. Sudah
begitu banyak pula prestasi yang dia bawa bagi kota Bitung. Salah satunya
melalui sanggar teater ini. Untuk kategori perlombaan remaja (tingkat Sekolah
Lanjutan Menengah dan Atas) tahunan saja, Bitung sudah menyelenggarakannya dua
belas kali. Berarti sudah berusia dua belas tahun! Itu di luar pementasan yang
dikreasi oleh komunitas. Hal ini menunjukan bahwa kesenian yang ada dikota
Bitung khususnya dalam bidang ini masih terus berkembang dan dilestarikan.
Tidak heran kalau sanggar Tangkasi bisa mengikuti event atau perlombaan
dimana-mana bahkan sampai ke tingkat nasional dan membawa nama Kota Bitung
serta Sulawesi Utara.
6. Bangunan
Alang Toraja
Seperti yang kita tahu, kesenian itu bukan saja
tarian dan nyanyian daerah. Tapi bangunan adat dan khas dari suatu daerah juga
merupakan karya seni. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat kota Bitung
dan juga para pendatang adalah Alang Toraja. Penduduk Sulawesi Selatan yang
bermukim di Bitung dapat menghasilkan sebuah karya arsitektur seni bangunan
yang menyerupai rumah beratapkan perahu ini terpajang di pusat Kota Bitung di
bilangan Jalan Sagrat Mutiara, Kecamatan Matuari. Lokasinya yang berada
dipinggiran jalan raya dapat mudahnya mata memandang karya suku Toraja
tersebut. Meski bukan asli buah karya seni Minahasa, bangunan Alang tersebut
masih memberikan magnet bagi orang yang berlalu-lalang. Bangunan Alang di
lokasi itu berjumlah dua bangunan. Satu sama lain berdiri kanan dan kiri
mengarah ke bumi bagian utara, sebagaimana kepercayaan yang mengakar oleh suku
Toraja. Penduduk suku Toraja yang bermukim di kota Bitung kadang datang untuk
melakukan pertemuan di aula yang tersedia disamping Alang Toraja tersebut,
jelas Jumarni si penjaga bangunan Alang ini.
Semisal jelas
Yakobus Pongsibidang, Ketua Kerukunan Suku Toraja Bitung menuturkan, Alang itu
bagi suku Toraja berfungsi menaruh hasil panen padi agar tetap bersih dan aman
dari gangguan hewan pemakan padi. "Ukurannya besar dan tinggi dijamin
aman," katanya. Selain itu, jelas Yakobus, Alang itu adalah simbol rumah
keluarga, penentu status dalam keluarga, semakin banyak memiliki Alang di
kediamannya berarti keluarga tersebut merupakan golongan kalangan berada.
"Logikanya punya banyak Alang berarti punya banyak simpanan padi di
rumahnya," tuturnya. Mungkin sebagian ada yang bertanya, kenapa bentuk
atap Alang yang menjadi tempat lumbung padi dari kejauhan berbentuk menyerupai
perahu. Bukan tanpa alasan, suku Toraja memiliki maksud membentuk hal itu,
karena sebagai penjelas bahwa dahulu kala nenek moyangnya yang berasal dari
wilayah utara mengenakan perahu. Maka sekarang pun, bangunan Alang dimana pun
berada harus menghadap wilayah Utara. Bila tidak dilakukan, maka telah
bertentangan dengan pakem suku Toraja, menyimpang dan bukan lagi asli peradaban
Toraja. "Alang di Bitung tetap kami buat ke arah Utara," katanya.
Biasanya di tanah aslinya Toraja Sulawesi Selatan, bangunan Alang itu mengapit
di kanan dan kiri rumah hunian suku Toraja yang bernama Tongkonan. Kedua-duanya
baik itu Alang maupun Tongkonan wajib menghadap ke arah utara. Atas dasar itu,
suku perkumpulan Toraja akan membangun rumah Tongkonan yang sekarang berada di Bitung
Jalan Sagrat. "Rencana kami akan bangun di tahun 2012. Sekarang inikan
baru Alang saja yang ada," ungkap pria berkumis tipis ini.
Tentunya bangunan yang akan berdiri di atas lahan seluas 2070 meter tersebut akan menjadi pusat pelestarian kebudayaan di Bitung dan satu-satunya di Sulut. Sebab, ungkap Jacobus, berdasar data tahun 2011 ini jumlah suku Toraja di Sulut ada 15 ribu orang sedangkan yang di Bitung mencapai 1200 jiwa. "Diharapkan jadi simbol persatuan masyarakat secara keseluruhan," tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar